Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai, Horor Kolonial dengan Isu Sosial yang Mencekam

Patrazone.com – Setelah sukses dengan film Menjelang Magrib pada 2022, Helroad Films kembali hadir dengan sekuelnya yang lebih mencekam berjudul Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai. Film ini akan tayang serentak di bioskop Indonesia pada 4 September 2025.

Masih digarap oleh sineas senior Helfi Kardit sebagai sutradara, produser, sekaligus penulis naskah, film ini menyuguhkan cerita yang lebih gelap, intens, dan menyentuh isu sosial, dengan latar sejarah yang kental.


Latar 1920 dan Isu Pasung yang Nyata

Berbeda dari film pertamanya yang menggunakan pendekatan docustyle, Menjelang Magrib 2 disajikan dalam format feature film yang lebih konvensional, namun tetap mempertahankan tema besar: pasung terhadap orang dengan gangguan kejiwaan.

Film ini mengambil latar tahun 1920, saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Helfi mengungkapkan bahwa isu pasung yang diangkat dalam film bukan sekadar fiksi, melainkan pengalaman pribadinya ketika tinggal di Sumatra dan menyaksikan praktik pemasungan secara langsung.

“Bagi saya, tema ini bukan hanya ide cerita, tetapi pengalaman nyata yang saya saksikan sendiri,” ujar Helfi saat konferensi pers di Jakarta.


Sinopsis: Ketika Ilmu Kedokteran Modern Berhadapan dengan Teror Mistis

Film ini mengisahkan Giandra, seorang dokter muda lulusan STOVIA yang diperankan oleh Aditya Zoni, yang tertarik menyelidiki kasus Layla – gadis desa Karuhun yang dipasung karena dianggap mengalami gangguan jiwa. Layla diperankan oleh Aisha Kastolan.

Konflik semakin kompleks saat Giandra bekerja sama dengan Rikke (diperankan Aurelia Lourdes), seorang jurnalis keturunan Belanda dan pribumi. Bersama, mereka menghadapi teror mistis yang melibatkan rahasia kelam Layla – yang ternyata pernah meninggal dan hidup kembali.

Pertarungan antara logika medis dan kepercayaan mistik lokal menjadi titik benturan utama, menjadikan film ini lebih dari sekadar tontonan horor, melainkan juga refleksi atas benturan budaya dan pengetahuan.


Produksi: Syuting di Gunung Papandayan, Tantangan Ekstrem

Lokasi syuting utama berada di kaki Gunung Papandayan dan Gunung Cikurai, Garut, Jawa Barat. Helfi menyebut persiapan produksi memakan waktu 3,5 bulan dengan 28 hari masa syuting.

“Kita ingin menunjukkan sisi sunyi dan mencekam pedesaan pada zaman itu. Minimnya penerangan alami justru menjadi elemen atmosfer horor yang kuat,” jelasnya.

Sementara itu, Production Designer Yannie Sukarya menyebut bahwa sekitar 70% set film dibangun secara khusus untuk mendekati realitas rumah-rumah rakyat di era kolonial, dari yang miskin hingga kelas menengah. Salah satunya rumah Layla yang digambarkan sangat artistik, meski dalam kondisi miskin.

“Cuaca ekstrem di kaki gunung sering menjadi tantangan. Kadang angin kencang menghambat pembangunan set,” ungkap Yannie.


Visi Kuat di Balik Cerita Sadis dan Penuh Darah

Menjelang Magrib 2 hadir tidak hanya sebagai bagian dari industri film horor, melainkan karya dengan visi kuat. Helfi membandingkan semangatnya dalam proyek ini dengan film Sang Martir (2012) yang meraih nominasi AIFFA 2023 dan Festival Film Bandung.

Jika film pertama sempat berkompetisi di Molins Film Festival, Barcelona, maka sekuelnya ini diharapkan mampu menyentuh lapisan emosi penonton lebih dalam, khususnya lewat nuansa misteri, tragedi, dan ketegangan sosial.


Lebih dari Sekadar Horor

Dengan karakter Layla yang penuh darah dan ketegangan, film ini bukan hanya ingin menakuti, tetapi juga menyadarkan penonton akan realita sosial kelam yang pernah (dan mungkin masih) terjadi di Indonesia – pemasungan terhadap ODGJ tanpa pengobatan yang layak.

Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai akan membawa penonton menyelami rasa takut yang nyata, bukan karena makhluk halus, tapi karena manusia dan sistem yang menindas.

Patrazone
Exit mobile version