Hukum

Gugat Ambang Batas Pilkada, 8 Mahasiswa Hukum Minta MK Hapus Threshold Cakada

Patrazone.com – Delapan mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) resmi mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Mereka menilai ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah bertentangan dengan semangat demokrasi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan meminta agar MK memaknai ulang aturan tersebut agar lebih inklusif.

Minta Ambang Batas Dihapus seperti Presidential Threshold

Permohonan uji materiil ini didasari semangat reformasi dan kesetaraan politik, sejalan dengan Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya telah membatalkan presidential threshold dalam Pilpres.

“Kami meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon’,” ujar kuasa hukum para pemohon, Gilang Muhammad Mumtaaz di Gedung MK, Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Mahasiswa menilai bahwa pembatasan pencalonan melalui ambang batas hanya mempersempit ruang demokrasi dan memperbesar potensi munculnya calon tunggal dalam pilkada. Kondisi ini dianggap mengganggu esensi pemilihan langsung oleh rakyat.

Kritik terhadap Putusan MK Soal Threshold 6,5-10 Persen

Dalam permohonannya, para mahasiswa juga mengkritik Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan threshold pencalonan kepala daerah menjadi 6,5-10 persen. Mereka menilai angka itu tetap membuka potensi keterbatasan jumlah calon dan tidak sepenuhnya menjawab problem utama dari sistem pencalonan.

Sebagai contoh, dalam Pilkada 2024 lalu, tercatat masih ada 37 daerah dengan calon tunggal meski threshold sudah direvisi. Masa pencalonan saat itu dibuka hanya sepekan setelah putusan MK diucapkan.

“Partai Politik Tidak Seharusnya Dibatasi”

Menurut para pemohon, ambang batas menciptakan distorsi terhadap hak partai politik untuk mengusung calon, yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi.

Mereka juga menilai, tidak adanya ambang batas justru akan membuka peluang lebih besar bagi munculnya kandidat terbaik dari berbagai spektrum politik.

Para pemohon terdaftar dalam perkara Nomor 90/PUU-XXIII/2025. Mereka adalah Khalid Irsyad Januarsyah, Robby Ardiansyah, Zamroni Akhmad Affandi, Panji Muhammad Akbar, Zahira Nurmahdi Hanafiah, Muhammad Azis, Muhammad Faisal Hamdi, dan Hasan Kurnia Hoetomo.

MK: Pilkada dan Pilpres Diatur Berbeda dalam Konstitusi

Menanggapi permohonan ini, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan bahwa secara konstitusional, pilkada dan pilpres memiliki dasar hukum yang berbeda.

“Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyebut presiden dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan Pasal 18 ayat (4) menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis. Ini harus dijelaskan lebih jauh oleh para pemohon,” kata Saldi dalam sidang panel nasihat hakim.

Saldi juga meminta pemohon mempertimbangkan keseimbangan antara pencalonan oleh partai politik dan jalur perseorangan. Menurutnya, tidak masuk akal jika jalur partai politik tidak memiliki ambang batas, sementara jalur perseorangan tetap harus memenuhi syarat tertentu.

“Kalau partai politik dikasih nol, calon perseorangannya berapa? Ini harus dikaji ulang secara komprehensif,” ujarnya.

Batas Waktu Perbaikan Permohonan

Hakim memberikan waktu maksimal 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka. Perbaikan harus diterima oleh kepaniteraan MK paling lambat Selasa, 17 Juni 2025.

author avatar
Patrazone

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button