Kisah Nyata Dua Perempuan Bangkit dari Kanker Serviks: “Saya Hanya Ingin Sehat”

Patrazone.com – Kanker serviks masih menjadi salah satu ancaman serius bagi kesehatan perempuan. Penyakit ini tidak hanya menimbulkan dampak fisik, tetapi juga psikologis yang mendalam. Meski begitu, diagnosis kanker serviks bukanlah akhir dari segalanya. Dua perempuan, dari dua belahan dunia yang berbeda, membuktikan bahwa harapan dan keteguhan hati bisa membawa mereka keluar dari ujian ini.
Berikut kisah nyata mereka yang bangkit dari vonis kanker serviks dan kini memilih berbagi, agar orang lain tak menyerah saat harapan terasa menipis.
Lily, Divonis Kanker Serviks di Usia 27 Tahun
Bagi Lily, perempuan asal Minnesota, Amerika Serikat, usia muda bukan jaminan bebas dari kanker. Saat didiagnosis kanker serviks di usia 27 tahun, hidupnya seolah runtuh. Ia sebenarnya sudah mengalami berbagai gejala, seperti nyeri panggul yang tak kunjung hilang hingga perdarahan usai berhubungan intim. Namun seperti banyak perempuan muda lainnya, ia mengabaikan tanda-tanda tersebut.
“Sebagai wanita 20-an, saya pikir saya tidak perlu datang ke satu janji temu dokter itu. Saya kira bisa melewatkannya sekali dan tetap baik-baik saja,” ucap Lily kepada Departemen Kesehatan Minnesota, dikutip Rabu (4/6/2025).
Kenyataannya berkata lain. Setelah serangkaian pemeriksaan medis, ia divonis kanker serviks dan harus menjalani lima sesi kemoterapi serta lima kali terapi radiasi. Prosesnya tak mudah. Selain efek samping yang menyakitkan, Lily juga kehilangan kesempatan untuk menjadi ibu karena pengobatan membuatnya tidak bisa memiliki anak.
“Saat didiagnosis, saya hanya ingin sembuh. Tapi sekarang di usia 31, saya hidup dengan penyesalan besar,” katanya lirih.
Meski harus menanggung luka emosional, Lily kini menjadi penyintas kanker serviks. Ia aktif mengedukasi perempuan muda untuk tidak menunda pemeriksaan rutin seperti Pap smear, dan mengingatkan bahwa deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa.
Santi Eka, Ibu dari Jakarta yang Menang Melawan Kanker
Santi Eka Permana, seorang ibu dari Jakarta, didiagnosis kanker serviks stadium 1B pada tahun 2016. Awalnya, dokter hanya menemukan miom dan kista. Namun karena nyeri panggul dan perdarahan terus berlanjut, Santi kembali memeriksakan diri dan menjalani biopsi. Hasilnya membuat dunia seolah berhenti berputar.
“Saat dokter bilang saya kena kanker serviks, rasanya hidup saya bakalan sebentar. Saya langsung kepikiran anak-anak, orang tua saya,” kenangnya.
Berbekal semangat hidup dan dukungan dari keluarga, Santi menjalani serangkaian perawatan intensif: 25 kali radiasi luar, tiga kali radiasi dalam, hingga akhirnya harus menjalani pengangkatan rahim pada tahun 2017.
“Saya bismillah. Mungkin dengan rahim saya diangkat, saya bisa sehat, saya bisa sembuh,” kata Santi.
Tahun 2018, Santi akhirnya dinyatakan dalam masa remisi. Kini, ia aktif membagikan kisahnya kepada sesama pasien dan komunitas kanker, berharap bisa memberi kekuatan bagi mereka yang sedang menjalani perjuangan yang sama.
Harapan Itu Nyata, Asal Tidak Menyerah
Kisah Lily dan Santi menjadi pengingat pentingnya mendengarkan tubuh dan tidak mengabaikan gejala awal. Keduanya menunjukkan bahwa meski kanker serviks membawa luka, baik fisik maupun batin, harapan selalu ada.
Virus HPV (human papillomavirus) memang menjadi pemicu utama kanker serviks, namun pencegahan bisa dilakukan sejak dini melalui vaksinasi HPV dan pemeriksaan rutin seperti Pap smear.
“Saya ingin semua perempuan tahu, kanker serviks bisa diatasi jika kita tidak menunda pemeriksaan dan tetap berani berharap,” pesan Santi menutup kisahnya.