Hukum

Uji Materi Perpu PUPN Dinilai Bisa Ungkap Tabir Gelap BLBI, Ini Kata Pakar Hukum Unair

Patrazone.com – Uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang saat ini tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat sorotan dari kalangan akademisi dan pengamat hukum.

Pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menilai proses uji materi ini bisa menjadi momentum penting untuk membuka kembali seluruh proses penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) secara lebih transparan dan objektif.

“Jangan buru-buru melihat ini semata sebagai persoalan individu,” kata Hardjuno dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (5/6/2025).


BLBI Masih Diselimuti Kabut Ketertutupan

Menurut Hardjuno, fakta-fakta yang muncul dalam sidang uji materi Perpu PUPN—termasuk hasil audit dan dugaan kekeliruan dalam penyaluran dana—harus diperlakukan secara serius dan diuji secara menyeluruh, bukan sepotong-sepotong.

“Kasus BLBI ini terlalu lama diselimuti kabut ketertutupan. Padahal, ini menyangkut kredibilitas negara dalam menangani krisis keuangan,” ujarnya.

Ia berharap permohonan uji materi yang diajukan oleh Andri Tedjadharma, pengusaha sekaligus pemilik saham Bank Centris Internasional, dapat membuka “tabir gelap” dari skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.


Perpu PUPN Dianggap Perlu Dikaji Ulang

Hardjuno menyebut bahwa Perpu PUPN adalah produk hukum warisan lama yang patut dikaji ulang relevansinya dalam konteks hukum tata negara dan hak asasi manusia masa kini.

“Perubahan hukum tidak boleh didorong semata oleh tekanan kasus per kasus. Evaluasi hukum harus bersifat sistemik dan menyeluruh,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan Mahkamah Konstitusi agar membuka ruang selebar-lebarnya untuk mengungkap fakta dalam persidangan, tidak hanya terpaku pada aspek formalitas semata.


Pemerintah Tegaskan Perpu PUPN Tidak Langgar UUD 1945

Sebelumnya dalam sidang MK yang digelar Rabu (30/4), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban, mewakili pemerintah menyampaikan tanggapan atas uji materi yang diajukan Andri Tedjadharma.

Pemerintah menyatakan bahwa Perpu PUPN bertujuan untuk melindungi keuangan negara dan menegaskan bahwa pasal-pasal yang diuji—yakni Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2), serta Pasal 11 huruf f—tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

“Pemohon tidak memahami substansi Pasal 8 Perpu PUPN, yang justru dirancang untuk menegakkan hukum terhadap debitur nakal,” kata Rionald dalam persidangan.

Ia menambahkan bahwa seluruh dalil yang diajukan Pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan meminta MK menolak permohonan tersebut secara keseluruhan.


Konteks Uji Materi: Kriminalisasi atau Penegakan Hukum?

Uji materi ini diajukan oleh Andri Tedjadharma yang merasa telah dikriminalisasi oleh PUPN. Ia menyebut PUPN secara sepihak menetapkannya sebagai penanggung utang negara, padahal menurutnya ada kekeliruan dalam penanganan utang piutang tersebut.

Mahkamah Konstitusi sendiri menyoroti usia peraturan yang sudah lebih dari 60 tahun, dan mempertanyakan relevansinya dalam sistem hukum Indonesia yang modern saat ini.


Fakta Singkat: Apa Itu Perpu PUPN?

  • Perpu Nomor 49 Tahun 1960 adalah dasar hukum bagi pemerintah, melalui PUPN dan DJKN Kemenkeu, dalam proses penagihan dan penyitaan aset atas piutang negara.
  • Perpu ini banyak digunakan dalam kasus-kasus yang menyangkut obligor BLBI, termasuk dalam penetapan tanggung jawab dan penyitaan aset pribadi.
  • Namun, keberadaan dan penerapannya kini dipersoalkan karena dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum modern dan hak konstitusional warga negara.

Uji materi Perpu PUPN tidak hanya menjadi perdebatan hukum antara individu dan negara, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk meninjau kembali rekam jejak negara dalam mengelola krisis keuangan nasional seperti BLBI.

Apakah Mahkamah akan membiarkan aturan warisan era lama tetap berlaku? Atau justru menjadikannya momentum untuk perbaikan hukum ke arah yang lebih adil dan modern? Jawabannya masih menunggu waktu dan keputusan Majelis Hakim MK.

author avatar
Patrazone

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button