Serangan AS ke Iran Bisa Dorong Penguatan Rupiah, Tapi Waspadai Lonjakan Harga Energi

Patrazone.com – Serangan militer Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir Iran menimbulkan eskalasi ketegangan global, namun di sisi lain justru berpotensi menjadi angin segar bagi nilai tukar rupiah. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang menilai konflik tersebut melemahkan kepercayaan pasar terhadap dolar AS.
“Perhatian dunia yang terpusat pada konflik Timur Tengah bisa menjadi blessing in disguise bagi rupiah, karena ketidakpastian tersebut memicu investor menghindari aset dolar,” ujar Bhima kepada Kompas.com, Minggu (22/6/2025).
Dolar AS Melemah, Rupiah Menguat
Bhima mencatat, sejak awal tahun indeks dolar AS (DXY) telah terkoreksi 8,95% ke level 98,7, menandakan tekanan serius terhadap kekuatan mata uang Negeri Paman Sam. Kondisi ini mendorong peralihan modal ke mata uang dan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pada Jumat (20/6/2025), nilai tukar rupiah bahkan ditutup menguat ke Rp16.396,5 per dolar AS, menandai respons positif pasar terhadap dinamika geopolitik global.
Risiko Tersembunyi: Lonjakan Harga Energi dan Inflasi
Namun, Bhima mengingatkan bahwa potensi penguatan rupiah ini dibayangi risiko besar, yakni terganggunya distribusi minyak dan bahan baku melalui Selat Hormuz yang vital. Ketegangan di kawasan bisa mendorong harga minyak mentah melonjak ke kisaran US$80–83 per barel dalam waktu dekat, bahkan sebelum Juli 2025.
“Konflik berkepanjangan bisa menyebabkan imported inflation akibat lonjakan biaya energi, terutama bahan bakar minyak (BBM),” jelas Bhima.
Kenaikan harga BBM dikhawatirkan memicu inflasi administered price, yang pada akhirnya akan menekan konsumsi rumah tangga. “Begitu harga BBM naik, biaya distribusi juga naik, dan efeknya akan menyebar ke semua sektor,” imbuhnya.
Proyeksi Ekonomi: Terancam Melambat
Jika eskalasi konflik berlangsung lama, Bhima memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa turun hingga 4,5% (year on year/yoy), jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,2%.
“Target ambisius 8% pertumbuhan ekonomi juga akan makin sulit dicapai, apalagi jika pemerintah juga melakukan efisiensi anggaran,” ujar Bhima.
Sri Mulyani: Kombinasi Risiko Global Harus Diwaspadai
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut mewanti-wanti efek rambatan dari konflik Israel-Iran yang telah memicu ketidakpastian global. Menurutnya, dampak dari sisi perdagangan, harga komoditas, rantai pasok, hingga volatilitas nilai tukar harus menjadi perhatian serius.
“Ini kombinasi yang harus diwaspadai. Pelemahan ekonomi global bisa berdampak buruk, memicu inflasi, dan menaikkan yield surat utang,” kata Sri Mulyani.
Meski konflik AS-Iran berpotensi mendorong penguatan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek, pemerintah tetap harus waspada terhadap risiko jangka menengah dan panjang berupa kenaikan harga energi dan inflasi yang menggerus daya beli.
“Rupiah bisa menguat, tapi ketahanan ekonomi nasional tetap harus diperkuat untuk menghadapi gejolak global,” pungkas Bhima.