Nasional

Kasus Gigitan Ular Jadi Sorotan Kemenkes, Warga Diminta Hentikan Mitos Berbahaya

Patrazone.com – Kasus gigitan ular yang menimpa seorang pasien di RSUD Kajen, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, menarik perhatian serius dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Pakar toksikologi klinis Kemenkes, Dr. dr. Tri Maharani, MSi, SpEM, menyebut insiden ini sebagai momen penting untuk memperbaiki tata laksana penanganan gigitan ular di Indonesia.

Dalam kunjungannya ke RSUD Kajen pada Sabtu (28/6/2025), dr. Maharani—yang akrab disapa dr. Maha—menegaskan bahwa masyarakat Indonesia masih terjebak pada berbagai mitos berbahaya dalam menangani gigitan ular.

“Masih banyak yang percaya cara lama seperti mengikat bagian yang tergigit, menyedot racun dengan mulut, melakukan bekam, atau memberi ramuan herbal. Ini semua justru memperparah kondisi korban,” kata dr. Maha kepada wartawan.


Penanganan Awal yang Benar: Imobilisasi, Bukan Diikat

dr. Maha menjelaskan, racun ular menyebar lewat sistem getah bening, bukan langsung ke dalam darah seperti yang umum diyakini. Karena itu, langkah paling penting saat menangani gigitan adalah mengistirahatkan bagian tubuh yang tergigit agar tidak bergerak, atau dikenal dengan metode imobilisasi.

“Imobilisasi dilakukan seperti menangani patah tulang. Bisa menggunakan bambu, kardus, atau kain sebagai penyangga, yang penting jangan mengganggu sirkulasi darah,” jelasnya.

Dalam kasus di RSUD Kajen, pasien justru diikat, yang membuat racun menyebar lebih cepat dan memperburuk kondisi.


Minimnya Pelatihan Penanganan Gigitan Ular di Dunia Medis

dr. Maha juga menyoroti minimnya pelatihan terkait gigitan ular dalam kurikulum pendidikan kedokteran Indonesia, termasuk bagi dokter spesialis. Hal ini menyebabkan penanganan di fasilitas kesehatan tidak optimal, terutama di wilayah rawan gigitan ular.

Sebagai respons, Kemenkes RI telah mengirimkan lebih dari 19 vial antivenom dari berbagai provinsi, seperti Jawa Tengah, Sulawesi, Bali, dan DKI Jakarta, guna menunjang penanganan pasien.

“Kami juga membawa tiga buku pedoman penting, termasuk dari WHO dan Panduan Keracunan Alami 2024 untuk digunakan di rumah sakit dan puskesmas,” tambah dr. Maha.


Diagnosis: Keracunan Neurotoksin Sistemik Tanpa Spesimen Ular

Meskipun jenis ular tidak dapat dipastikan karena tidak ada dokumentasi atau spesimen, dr. Maha menyebut gejala klinis pasien mengarah pada keracunan neurotoksin sistemik, yang menyerang sistem saraf.

“Diagnosisnya adalah suspect unidentified neurotoxic envenomation. Meski tidak diketahui jenis ularnya, tanda-tanda yang muncul cukup untuk menentukan arah terapi,” paparnya.


Kondisi Pasien Kritis Namun Mulai Membaik

Saat ini, pasien masih berada dalam kondisi kritis, namun telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan berkat dukungan ventilator dan pemberian obat antikolinesterase.

“Kami juga melakukan konsultasi dengan beberapa pakar toksikologi internasional untuk mendukung penanganan lebih lanjut,” ujar dr. Maha.

Sebagai langkah lanjutan, tim medis RSUD Kajen bersama Kemenkes akan menggelar bakti sosial dan edukasi publik untuk mengajarkan penanganan gigitan ular yang benar kepada masyarakat.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button