Inspiratif

Koperasi Merah Putih: Langkah Awal Membangun Ekonomi Desa dari Akar

Patrazone.com – Transformasi ekonomi desa menjadi tulang punggung pertumbuhan nasional memerlukan lembaga inklusif yang kuat dan dekat dengan komunitas lokal. Koperasi Merah Putih, sebagai koperasi multipihak, hadir menawarkan solusi dengan plafon pembiayaan hingga Rp 3 triliun per koperasi melalui Himbara, berfungsi layaknya branchless banking untuk akses keuangan hingga pelosok desa.


Koperasi dan Semangat Demokrasi Ekonomi ala Mohammad Hatta

Pemikiran Mohammad Hatta sangat relevan menjadi landasan model koperasi ini. Hatta melihat koperasi bukan hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sarana memperkuat solidaritas dan keadilan sosial. Menurutnya:

“Koperasi bukan hanya alat teknik ekonomi, melainkan juga alat teknik sosial untuk memperkuat sendi-sendi gotong‑royong dan keadilan sosial”

Hatta menekankan prinsip self-help, solidaritas, dan desentralisasi ekonomi—kerangka ideal bagi koperasi yang berbasis desa. Pasal 33 UUD 1945 pun menegaskan bahwa ekonomi disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, yang dimaknai Hatta sebagai landasan koperasi demokratis.


Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Koperasi Desentral

Dalam menjalankan model koperasi ini di 83.794 desa, tantangan terbesar terletak pada kapasitas manajerial dan daya serap warga terhadap layanan keuangan formal. Oleh karena itu, dibutuhkan pendampingan intens termasuk:

  • Pelatihan manajemen koperasi
  • Literasi hukum dan digital
  • Pendidikan nilai demokrasi dan akuntabilitas kelembagaan

Pendekatan ini membangun kepercayaan antar anggota serta memperkecil risiko kegagalan kelembagaan.


Konsep Multipihak dan Sinergi Lokal

Koperasi Merah Putih berbasis konsep multipihak, terdiri dari berbagai kelompok sosial seperti petani, nelayan, pelaku usaha mikro, perempuan, hingga aparat desa. Setiap elemen masyarakat memiliki hak suara dan keterwakilan dalam musyawarah. Koperasi ini juga diharuskan mengimplementasikan:

  • Audit digital kolektif
  • Skema pembiayaan seperti koperasi bond
  • Profil kredit kolektif agar dapat menjangkau lembaga keuangan nasional serta meningkatkan kepercayaan investor

Namun yang paling penting, koperasi harus menjadi ruang belajar warga secara aktif, bukan sekadar tempat distribusi dana.


Belajar dari Fonterra dan Grameen Bank

Model koperasi sukses di dunia bisa menjadi referensi. Fonterra Cooperative Group di Selandia Baru mampu membangun ekosistem ekonomi pertanian berbasis komunitas dari hulu ke hilir, tanpa hanya berorientasi pada laba. Fonterra terbukti menjaga stabilitas harga, mendukung UMKM lokal, dan menguatkan ekspor produk susu nasional bahkan saat pandemi.

Sementara itu, Grameen Bank di Bangladesh menawarkan model solidaritas kelompok, pinjaman tanpa agunan, dan integrasi literasi keuangan yang berhasil mengangkat jutaan warga miskin ke dalam sistem ekonomi formal.

Koperasi Merah Putih bisa bergerak ke arah serupa: tidak hanya sebagai lembaga simpan-pinjam, tetapi sebagai agregator produksi, penyedia logistik, dan edukator bisnis desa.


Risiko dan Proyeksi Dampak Ekonomi

Jika diterapkan di seluruh desa, dibutuhkan kurasi modal mencapai Rp 251,38 triliun. Namun jika dikelola dengan baik, dampak positif terhadap PDB nasional diperkirakan meningkat dari 0,37% menjadi 0,46% antara 2026–2028, dengan akumulasi Rp 372 triliun.

Tantangan risiko juga bisa muncul, misalnya:

  • Shifting likuiditas besar di Himbara sehingga mempersempit akses kredit sektor lainnya
  • Jika dana gagal cair dan tidak dijamin penjaminan, rasio Non Performing Loan (NPL) sektor perbankan BUMN bisa mendekati ambang sehat 3%

Jadi, pendampingan kelembagaan, adopsi tata kelola koperasi yang transparan serta akuntabel menjadi sangat krusial bagi keberlangsungan model ini.


Dari Desa untuk Indonesia

Semangat Mohammad Hatta—koperasi sebagai fondasi demokrasi ekonomi dan kemandirian rakyat—selaras dengan harapan Indonesia bangkit dari desa. Koperasi Merah Putih harus menjadi rumah inklusif yang menyatukan elemen masyarakat setempat dan membangun ekonomi desa yang berkelanjutan.

Inilah saatnya memperkuat sistem ekonomi kerakyatan yang merata dari pinggiran, bukan dari pusat ke pinggiran.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button