Chairul Tanjung: Dari Anak Singkong ke Taipan Bisnis Nasional

Patrazone.com – Di balik kesuksesan Chairul Tanjung sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, tersimpan kisah hidup penuh perjuangan. Dijuluki “Si Anak Singkong”, ia membuktikan bahwa asal-usul bukan penghalang untuk menjadi besar.
Mengutip data Forbes Real Time Billionaires per 5 Juni 2024, kekayaan Chairul Tanjung mencapai US$5,1 miliar atau setara Rp81,11 triliun. Jumlah itu menempatkannya di posisi orang terkaya ke-8 di Indonesia.
Namun, perjalanan menuju puncak tak semudah membalik telapak tangan.
Lahir dari Keluarga Sederhana
Chairul Tanjung lahir di Gang Sepur, Kemayoran, Jakarta, pada 18 Juni 1962. Ayahnya, Abdul Ghafar Tanjung, adalah seorang wartawan era Orde Lama yang menerbitkan surat kabar kecil. Sementara sang ibu, Halimah, adalah ibu rumah tangga.
Kondisi ekonomi keluarga anjlok saat ayahnya harus menghentikan penerbitan karena konflik politik dengan pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, Chairul dan enam saudaranya tinggal di losmen sempit.
Dari lingkungan sederhana inilah lahir julukan “Si Anak Singkong” — cerminan latar belakang rakyat biasa.
Kuliah Sambil Berjualan
Meski hidup pas-pasan, semangat belajar Chairul tak pernah surut. Ia menempuh pendidikan di SD-SMP Van Lith, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1 Boedi Oetomo, Jakarta, lulus tahun 1981.
Saat kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI), Chairul mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikannya. Ia berjualan buku, kaos, membuka usaha fotokopi, bahkan sempat menjual gorengan dan koran.
Tahun 1984-1985, ia terpilih sebagai Mahasiswa Teladan Nasional. Ia lulus sebagai dokter gigi pada 1987, dan kemudian meraih gelar MBA dari IPPM (1993).
“Saya jadi pengusaha bukan karena pendidikan atau keturunan orang kaya. Tapi karena terpaksa harus membiayai sekolah dan kuliah sendiri,” ujarnya saat meluncurkan buku biografinya pada 2012.
Langkah Awal Jadi Konglomerat
Setelah lulus, Chairul mendirikan perusahaan pertama, PT Pariarti Shindutama, pada 1987 bersama tiga rekan. Modal awalnya Rp150 juta dari Bank Exim. Mereka memproduksi sepatu anak-anak dan sukses mengekspor 160.000 pasang ke Italia.
Namun, perbedaan visi membuatnya keluar dari perusahaan tersebut dan mendirikan usaha sendiri. Ia kemudian merintis Para Group, yang fokus pada tiga sektor inti: keuangan, properti, dan multimedia.
Keputusan bisnis krusial datang saat Chairul mengakuisisi Bank Karman, yang kemudian diubah menjadi Bank Mega pada 1996. Saat krisis moneter 1998 menghantam banyak pengusaha, Bank Mega justru tumbuh dan mencetak laba.
Membangun Gurita Bisnis CT Corp
Dari sanalah, imperium bisnis CT Corp mulai dibangun. CT Corp saat ini membawahi tiga sub-holding besar:
- Mega Corp – sektor finansial (Bank Mega, Mega Syariah, Mega Life, dan lainnya)
- Trans Corp – sektor media dan ritel (Trans TV, Trans7, Trans Studio, detikcom, dan Carefour)
- CT Global Resources – sektor properti, hiburan, gaya hidup, dan sumber daya alam
Chairul juga sukses membangun pusat perbelanjaan Bandung Supermall (kini Trans Studio Mall) dan mengubah TV7 menjadi Trans7 setelah menjalin kerja sama dengan Kompas Gramedia.
“Dulu saya satu-satunya mahasiswa UI yang cari uang sambil kuliah. Sekarang, anak muda lebih berani jadi entrepreneur. Itu kemajuan besar,” kata Chairul saat berbicara di hadapan mahasiswa UGM, 2019.
Inovasi Adalah Kunci
Chairul Tanjung percaya bahwa inovasi adalah kunci utama memenangkan kompetisi di era digital. Bagi Chairul, efisiensi dan produktivitas tak lagi cukup—inovasi, kreativitas, dan semangat entrepreneurship adalah senjata utama.
“Kalau dulu cukup efisien untuk menang, sekarang kita harus inovatif dan punya pola pikir wirausaha untuk unggul,” tegasnya.