Patrazone.com – Memasuki tahun pertama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, para pelaku industri mengapresiasi arah kebijakan yang cenderung pro-manufaktur, namun mempertanyakan kecepatan implementasinya.
Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menyebut bahwa meskipun kebijakan dasar sudah mengarah pada dukungan sektor manufaktur, keberhasilan nyata tergantung pada akselerasi pelaksanaan: reformasi biaya produksi, kepastian insentif fiskal, fleksibilitas likuiditas eksportir, dan strategi penetrasi pasar.
“Satu tahun pertama memberi arah pro-manufaktur, tetapi hasil akhirnya akan ditentukan oleh kecepatan eksekusi … dan strategi pembukaan pasar.”
— Abdul Sobur (HIMKI)
Kinerja Furnitur & Tantangan Ekspor
Data BPS menunjukkan industri furnitur—bagian dari subsektor padat karya manufaktur—mengalami kontraksi −0,05 % yoy pada kuartal II/2025. Padahal, nilai ekspor furnitur mengalami peningkatan tipis menjadi US$ 1,59 miliar (Jan–Agust 2025), dibandingkan US$ 1,54 miliar tahun sebelumnya.
Namun, Sobur mengingatkan, peningkatan ekspor masih terbebani oleh tarif proteksionis AS (naik menjadi 19 %), serta tren proteksi impor di banyak negara tujuan ekspor. Pangsa pasar furnitur Indonesia global turun dari 3,47 % (2021) ke 2,37 % (2024) — sinyal bahwa kompetisi global semakin agresif.
Insentif & Reformasi Biaya: Janji yang Belum Terwujud
Meski pemerintah mempertahankan super‑deduction untuk pelatihan vokasi (200 %) dan riset & pengembangan (300 %), Sobur menggarisbawahi bahwa kemudahan akses pelaksanaannya di lapangan masih sangat terbatas.
Sobur optimistis bahwa dalam 12–24 bulan ke depan, pemulihan ekspor bisa terjadi asalkan biaya produksi dan logistik turun, desain dan kualitas produk ditingkatkan, serta ekspansi pasar dan pemangkasan lead time dilakukan. Namun, ia menekankan bahwa tanpa gebrakan nyata dari pemerintah—terutama dalam aspek biaya dan akses pasar—target pertumbuhan manufaktur akan sulit tercapai.
Suara dari Pelaku Manufaktur Lain
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa pertumbuhan manufaktur saat ini sejajar dengan pertumbuhan ekonomi, dengan kontribusi < 20 %. Ia menyoroti banjirnya impor dumping dan barang ilegal, yang membuat produk lokal kalah saing di pasar domestik.
Menurut Redma, pergantian pejabat kunci di sisi bea cukai dan kementerian keuangan adalah sinyal positif, tetapi belum cukup jika impor legal berdampak dumping tetap dibiarkan. Ia optimis bila problem ini ditangani, kontribusi manufaktur > 20 % bisa dicapai.
Tren Positif: Manufaktur Masih Menjadi Penopang Ekonomi
Meski banyak tekanan, sektor manufaktur menunjukkan tanda-tanda kebangkitan:
- Kuartal II/2025, sektor industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,60 % yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (5,12 %)
- Kontribusi manufaktur terhadap PDB berada di sekitar 18,67 %
- Sektor-sektor penggerak seperti logam dasar (+14,91 %), makanan & minuman (+6,15 %), dan kimia / farmasi (+9,39 %) mencatat pertumbuhan signifikan
Data tersebut menunjukkan bahwa momentum untuk memperkuat manufaktur masih terbuka, jika kebijakan dan eksekusi disatukan.
Rekomendasi & Catatan Akhir untuk Pemerintah
- Cepatkan reformasi biaya produksi — tarif energi, transportasi, bahan baku dalam negeri
- Permudah akses insentif fiskal & administrasi — pemangkasan birokrasi dan klarifikasi regulasi
- Tingkatkan proteksi pasar domestik — lawan dumping & barang ilegal
- Dorong diversifikasi pasar ekspor — kurangi ketergantungan pada AS
- Perkuat rantai pasok lokal & kurangi lead time — agar industri tidak terlalu tergantung bahan impor
Jika pemerintah mampu mengatasi hambatan-hambatan di atas dengan cara yang tajam dan tepat sasaran, sektor manufaktur bisa menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi dan pencipta lapangan kerja.