APKI Kritik Rencana Cukai Popok, Sebut Bisa Bebani Industri dan Konsumen

Patrazone.com – Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menyoroti rencana pengenaan cukai popok (diapers) dalam kebijakan fiskal nasional. Ketua Umum APKI, Liana Bratasida, menilai kebijakan ini berpotensi menambah tekanan pada industri sekaligus membebani masyarakat.
Menurut Liana, persoalan lingkungan yang menjadi dasar wacana cukai tidak dapat diselesaikan semata lewat biaya tambahan. “Masalah utama bukan pada produknya, tetapi perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Cukai tidak akan mengubah perilaku tersebut,” jelasnya.
Kontribusi Industri Popok terhadap Ekonomi
Industri popok nasional berkontribusi sekitar 3,92% terhadap PDB nonmigas dan menghasilkan devisa ekspor lebih dari US$8 miliar pada 2024. Namun, industri ini belum sepenuhnya pulih setelah tekanan biaya produksi dan persaingan pasar.
Dari 17 pabrik diapers di Indonesia dengan kapasitas terpasang 17,9 miliar pieces, produksi aktual pada 2023 tercatat 16,47 miliar pieces. Kebutuhan nasional pada 2024 diperkirakan 13,1 miliar pieces, sehingga kapasitas industri sebenarnya masih mampu memenuhi pasar.
“Beberapa pabrik sudah tutup karena tingginya biaya produksi dan persaingan. Jika ditambah cukai, harga pasti naik dan pasokan bisa menurun,” imbuh Liana.
Cukai Dinilai Tidak Tepat Sasaran
Pemerintah menyatakan bahwa rencana cukai diapers sejalan dengan target penanganan sampah laut berdasarkan PP 83/2018. Popok disebut sebagai penyumbang sampah laut terbesar kedua pada 2017, mencapai 21 persen, dan sulit didaur ulang karena mengandung material sintetis.
Liana menilai pendekatan pengenaan cukai kurang tepat. “Besarnya volume sampah di laut lebih disebabkan oleh pengelolaan sampah yang belum optimal, bukan karakteristik produknya. Solusinya adalah memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan edukasi masyarakat,” tegasnya.
Inovasi Industri dan Ekonomi Sirkular
Industri diapers di Indonesia telah bekerja sama dengan sektor semen untuk memanfaatkan limbah popok sebagai substitusi energi biomassa, mendukung pengurangan sampah dan memperkuat prinsip ekonomi sirkular.
APKI juga menegaskan bahwa diapers bukan plastik murni, melainkan kombinasi pulp, SAP, PE film, nonwoven PP, latex, spandex, dan lem berbasis karet. Sebagian plastik sudah tercakup dalam kebijakan cukai plastik. Liana menilai, pengenaan cukai diapers berpotensi menimbulkan double taxation dan mengurangi daya saing produk dalam negeri.
Selain itu, diapers dewasa dikategorikan sebagai alat kesehatan berdasarkan izin edar Kemenkes. Kebijakan cukai dikhawatirkan menghambat peningkatan produksi alat kesehatan lokal.
“Jika harga naik, konsumsi turun, pekerja terdampak, dan kontribusi industri terhadap penerimaan negara bisa berkurang. Kebijakan harus mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, industri, dan kepentingan publik,” jelas Liana.
APKI menegaskan komitmennya mendukung pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, efektif, dan adil, sambil menekankan perlunya reassessement terhadap rencana cukai popok.
“Kami mendukung upaya pemerintah memperbaiki pengelolaan lingkungan. Namun kebijakan baru harus realistis agar tidak merugikan banyak pihak,” tutupnya.



