Kisah Inspiratif Petani Milenial: Dari Lahan Sempit hingga Pemasok Pasar Swalayan

Patrazone.com – Dunia pertanian Indonesia tengah diramaikan oleh semangat baru dari para generasi muda. Mereka hadir membawa inovasi dan keberanian, seperti yang dilakukan oleh Ali Lutfi, petani muda asal Demak, dan Pulung Widi Handoko, pemuda Magelang yang kini menjadi pemasok sayuran ke pasar swalayan.
Ali Lutfi: Dari Kegagalan Panen Melon hingga Sukses Bangun Bara Farm
Ali Lutfi, pria kelahiran Demak, 8 Februari 1986, tak pernah menyangka bahwa langkah kecil menanam buah di belakang rumahnya akan membawanya menjadi Duta Petani Milenial Kalimantan Timur.
Keresahan Lutfi bermula dari dominasi buah impor di pasar lokal yang membuatnya bertanya-tanya, “Mengapa petani lokal enggan menanam buah-buahan?”
Tanpa pengalaman dan hanya bermodalkan semangat, Lutfi mulai menanam buah organik. Namun, dua tahun pertama bukanlah masa yang mudah. Gagal panen melon membuatnya sempat terpuruk. Tapi Lutfi tak menyerah.
Ia kemudian belajar hidroponik dari komunitas lokal dan mendapatkan dukungan dari PT Pupuk Kaltim untuk membangun greenhouse pertama miliknya.
Tak disangka, dari satu rumah kaca, kini ia berhasil mengembangkan lima unit greenhouse yang diberi nama Bara Farm. Produksi sayur organiknya mencapai 30–50 kg per hari, dan panen melon bisa tembus 1,5 hingga 2 ton per bulan, melayani hingga 700 pelanggan rutin.
Meski sudah sukses, Lutfi tak lupa berbagi ilmu. Bersama Pupuk Kaltim, ia aktif mengedukasi warga sekitar agar ikut mengembangkan pertanian buah secara berkelanjutan.
Pulung Widi Handoko: Bertani Sejak Kecil, Kini Sukses Pekerjakan 50 Karyawan
Berbeda dengan Lutfi, Pulung Widi Handoko atau Widi, 25 tahun, berasal dari Kecamatan Dukun, Magelang, dan sejak kecil sudah akrab dengan lumpur sawah.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia sudah membantu sang ayah mencangkul, menanam, hingga memanen hasil pertanian. Jiwa petaninya terbentuk sejak dini.
Setelah menamatkan pendidikan di Fakultas Pertanian UGM, Widi langsung menekuni budidaya sayuran organik. Di atas lahan seluas 15 hektar, ia menanam aneka sayuran yang diminati pasar, khususnya ibu rumah tangga dan konsumen swalayan.
Widi mengandalkan Ecofert, pupuk hayati produksi PT Pupuk Kaltim, untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia seperti NPK. Hasilnya, tanah lebih terawat dan produktivitas meningkat.
Dari hanya 2 hektar lahan, Widi mampu memanen 900 kilogram cabai rawit per petikan. Dengan harga jual mencapai Rp80.000 per kilogram, keuntungan yang ia peroleh cukup untuk membayar 50 karyawan yang ia pekerjakan.
“Saya tidak hanya ingin jadi petani, tapi juga membuka lapangan kerja dan menunjukkan bahwa bertani itu menjanjikan,” ujar Widi.
Bertani dengan Ilmu dan Semangat, Kunci Sukses Petani Muda
Kisah Lutfi dan Widi membuktikan bahwa petani milenial bukan hanya mampu membawa perubahan di tingkat lokal, tetapi juga mampu berkontribusi pada ketahanan pangan nasional.
Inovasi, pemanfaatan teknologi, serta keberanian memulai dari bawah menjadi fondasi keberhasilan mereka. Mereka bukan hanya menanam, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk ikut berkarya di sektor pertanian.