Benarkah Kuota Internet Hangus Merugikan Konsumen? Ini Kata Pengamat Telekomunikasi

Patrazone.com – Polemik mengenai kuota internet yang hangus kembali menjadi sorotan publik. Sebagian pihak bahkan menuding praktik tersebut merugikan konsumen hingga negara dengan dugaan potensi kerugian mencapai Rp63 triliun. Namun, tudingan tersebut dinilai keliru dan tidak berdasar menurut sejumlah pakar.
Riant Nugroho, pakar telekomunikasi sekaligus mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012–2015, menegaskan bahwa mekanisme kuota berbasis waktu merupakan praktik dagang yang sah dan sesuai dengan prinsip hukum di Indonesia.
“Yang menuding operator merugikan negara atau konsumen berarti tidak memahami hukum dagang atau perjanjian perdata,” ujar Riant, Kamis (26/6/2025).
Kuota Internet Sama Seperti Transaksi Jual Beli Lainnya
Menurut Riant, dalam hukum perdata dan hukum dagang, setiap transaksi antara penjual dan pembeli bersifat mengikat. Selama penyedia layanan—dalam hal ini operator seluler—telah menyampaikan syarat dan ketentuan secara transparan, dan konsumen menyetujuinya, maka perjanjian tersebut berlaku sah.
Ia mencontohkan, sistem kuota internet berbasis waktu mirip dengan jual beli rumah atau properti. Ketika pembeli sudah mengetahui spesifikasi produk dan menyetujuinya, tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan pembatalan sepihak kecuali melalui perjanjian ulang.
Tidak Melanggar UU Perlindungan Konsumen
Lebih lanjut, Riant menyebut mekanisme kuota hangus juga sudah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut mengatur bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi secara lengkap mengenai harga, masa aktif, dan volume layanan. Hal ini, kata dia, sudah dijalankan oleh seluruh operator di Indonesia.
“Pembelian pulsa dan kuota internet adalah bagian dari mekanisme pasar. Konsumen bisa memilih sesuai kebutuhan, tidak ada paksaan membeli kuota besar,” jelasnya.
Tidak Bisa Disamakan dengan Token Listrik atau LPG
Riant menambahkan, membandingkan kuota internet dengan token listrik atau LPG adalah hal yang keliru. Token listrik dan LPG merupakan barang yang dihitung berdasarkan volume, sementara kuota internet adalah layanan berbasis waktu, yang sifatnya berbeda.
Operator, menurut dia, bahkan telah memberikan fleksibilitas kepada konsumen dengan menyediakan berbagai pilihan paket, dari harian hingga bulanan, serta kuota besar hingga kecil.
ATSI: Masa Aktif Adalah Hal Lumrah di Industri
Senada dengan Riant, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) juga menanggapi polemik ini. Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyebut bahwa penerapan masa aktif pada paket internet merupakan praktik umum di industri telekomunikasi global.
“Hal ini berbeda dengan listrik atau kartu tol. Internet berbasis lisensi spektrum dari pemerintah,” tegas Marwan.
Ia juga mencontohkan bahwa operator luar negeri seperti Kogan Mobile (Australia) dan CelcomDigi (Malaysia) juga menerapkan masa berlaku paket data. Informasi tentang harga, kuota, dan masa aktif pun sudah tersedia secara terbuka melalui situs resmi maupun aplikasi masing-masing operator.
Tudingan Kerugian Negara Dinilai Berlebihan
Sebelumnya, Indonesian Audit Watch (IAW) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden RI, BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk mengaudit skema bisnis kuota internet. Namun menurut para pengamat dan pelaku industri, desakan tersebut justru menunjukkan adanya ketidaktahuan terhadap prinsip dagang yang berlaku.
“Sebelumnya tidak pernah ada masyarakat yang mempersoalkan kuota hangus hingga menimbulkan kegaduhan seperti ini,” pungkas Riant.