Patrazone.com – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengingatkan pentingnya integritas para surveyor kadaster dalam mencegah praktik mafia tanah. Ia menegaskan bahwa kejahatan pertanahan umumnya bermula dari proses pengukuran di lapangan.
Peringatan tersebut disampaikan Nusron saat membuka Musyawarah Nasional Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia (MASKI) di Denpasar, Bali, Selasa.
“Kejahatan pertanahan itu pasti dimulai dari kegiatan pengukuran. Yang direbut mafia tanah adalah fisik dan surat pengakuan. Dari dimensi fisik, itu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada rekayasa dari para pemain lapangan—siapa? Ya anggota MASKI,” ujar Nusron.
Pengukuran Jadi Titik Rawan, Dokumen Yuridis Bisa Kalah
Menurut Nusron, potensi kejahatan juga kerap muncul di tingkat Kanwil BPN melalui manipulasi dokumen yuridis. Namun, ia menegaskan bahwa dokumen apa pun tetap tidak bisa menandingi hasil pengukuran fisik yang valid dan solid.
Karena itu, ia meminta para surveyor kadaster meningkatkan akurasi, integritas, serta disiplin dalam setiap proses pengukuran untuk mencegah tumpang tindih lahan di tahap berikutnya.
“MASKI saya minta membuat standar pengendalian kualitas dan kode etik. Produk yang keluar harus benar-benar berfungsi dan punya mitigasi risiko,” ucapnya.
Ada Risiko Hukum Berat: “Siap-siap Diperiksa, Siap-siap Masuk Penjara”
Nusron mengingatkan bahwa seluruh produk pertanahan memiliki konsekuensi hukum. Bila peta bidang tanah (PBT) yang diterbitkan bermasalah, para surveyor maupun pejabat terkait bisa terseret hukum.
“Semua produk pertanahan itu berisiko. Kalau PBT hasil olahan kadaster ternyata bermasalah, ya siap-siap diperiksa, siap-siap masuk penjara. Makanya harus hati-hati, cek satu per satu,” tegasnya.
Kasus “Pagar Laut” Tangerang Jadi Contoh Nyata
Dalam kesempatan tersebut, Nusron menyinggung kembali kasus “pagar laut” di Tangerang, yang dinilai sebagai kesalahan fatal dalam proses pemetaan. Ia meyakini ada peran surveyor dalam kejadian tersebut.
“Tidak mungkin laut dijadikan PBT. Dengan metodologi apa pun, itu tidak bisa diterima. Tidak bisa juga berlindung pada alasan bahwa pengukuran dilakukan sejak lama,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa praktik-praktik seperti itu tidak boleh ditoleransi dan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan yang ingin merebut sumber daya tanah secara tidak adil.
